Gedung Grahadi merupakan fasilitas penting yang berfungsi sebagai rumah dinas Gubernur Jawa Timur. Bangunanya cukup populer berkat arsitektur luar biasa megah dan area super luas. Di samping memikat secara visual, nyatanya sejarah Gedung Grahadi juga tak kalah menarik untuk kita telusuri.
Baca Juga: Kupas Tuntas Sejarah Priangan Timur dari Tahun ke Tahun
Terletak di pusat Kota Surabaya, bangunan tersebut digadang-gadang lebih dari sekadar tempat tinggal pejabat tinggi. Ya, melihat dari catatan sejarah Indonesia, gedung tersebut bahkan telah menjadi saksi bisu perjalanan panjang historis bangsa. Mari kita bahas secara mendalam.
Mengulas Sejarah Gedung Grahadi di Jantung Kota Surabaya
Seperti masyarakat ketahui, Gedung Grahadi berdiri megah di Jalan Gubernur Suryo, Embong Kaliasin, Genteng. Tepat di seberang Taman Apsari. Lokasinya yang strategis menjadikan bangunan ini bagian tak terpisahkan dari lanskap kota Surabaya.
Melansir dari catatan sejarah, gedungnya mulai dibangun pada tahun 1795 dan terus berdiri kokoh hingga sekarang. Nama “Grahadi” sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti “rumah indah” atau “hunian dengan derajat tinggi” Hal itu mencerminkan kemegahan serta fungsinya sebagai tempat tinggal orang-orang penting.
Awalnya, bangunan Grahadi berdiri di atas lahan seluas 16.284 meter persegi yang terletak di tepi Kali Mas. Sebelum pembangunan berlangsung, lahan tersebut merupakan milik seorang warga keturunan Tionghoa.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda kemudian membelinya seharga 1,5 sen. Sedangkan untuk pembangunan gedungnya sendiri, dana yang mereka keluarkan mencapai 14 ribu ringgit. Jumlah yang terbilang sangat besar pada masanya.
Gaya Arsitektur yang Terus Berkembang
Secara arsitektural, sejarah pembangunan Gedung Grahadi mengusung konsep Tuinhuis. Konsep rumah taman dengan kebun bunga dan pohon-pohon rindang. Gaya arsitekturnya merupakan kombinasi dari rumah taman Eropa dengan sentuhan Oud Hollandstijl atau model Belanda kuno.
Arsitek Ir. W. Lemci adalah sosok di balik rancangan awal gedung tersebut. Mengingat kala itu, tujuan utama pembangunannya memang sebagai tempat tinggal serta peristirahatan para pejabat tinggi kolonial. Dirk van Hogendorp, salah satu penguasa Hindia Belanda untuk wilayah Jawa Timur, menjadi penghuni pertamanya.
Seiring waktu, Gedung Grahadi mengalami beberapa kali renovasi dan perubahan fungsi. Misalnya, pada tahun 1799 hingga 1809, bangunan ini dikuasai oleh Fredrik Jacob Rothenbuhler. Sekitar tahun 1802, Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Herman Willem Daendels, melakukan perubahan signifikan pada tata letak bangunan.
Ia memerintahkan agar orientasi bangunan berubah. Dari yang sebelumnya menghadap ke Kali Mas, menjadi ke arah selatan. Menurutnya, ini lebih sesuai dengan prinsip tata kota yang semakin modern.
Daendels juga melanjutkan renovasi besar pada tahun 1810, dengan mengganti gaya arsitektur menjadi Empire atau Dutch Colonial Villa. Hasilnya lebih kokoh dan megah. Gayanya pun banyak pemerintah terapkan pada bangunan-bangunan khas kolonial. Terutama yang berdiri di akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19.
Ketika Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942-1945, sejarah mencatat bahwa Gedung Grahadi beralih fungsi. Mereka menjadi rumah singgah para pejabat militer Jepang, ruang sidang Raad van Justitie (Pengadilan Tinggi), serta lokasi berbagai acara resmi. Termasuk pesta dansa para elite militer penjajahan.
Baca Juga: Alun-alun Kian Santang Purwakarta dan Sejarahnya
Perpindahan Kepemilikan
Sementara itu, pasca Proklamasi pada 17 Agustus 1945, Grahadi memainkan peran penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Sebut saja pada Oktober 1945, gedungnya menjadi tempat berlangsungnya perundingan antara Presiden Soekarno dan Jenderal Inggris, Hawthorn.
Kedua belah pihak membahas upaya gencatan senjata serta perdamaian antara pasukan sekutu dan rakyat Surabaya. Namun, situasi tetap memanas. Malam 9 November 1945 23.00 WIB, Gubernur Jawa Timur, Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo, menyatakan penolakannya terhadap ultimatum Inggris.
Kala itu, Inggris menuntut agar rakyat Surabaya menyerah tanpa syarat. Keberanian Gubernur Suryo berujung pada gugurnya beliau sehari kemudian dalam serangan yang terjadi di sekitar Gedung Grahadi. Sebagai penghormatan, namanya masyarakat pilih sebagai nama jalan di kawasan tersebut.
Grahadi dalam Pemerintahan Modern
Setelah melewati perjalanan sejarah panjang, Gedung Grahadi secara resmi menjadi aset milik pemerintah Republik Indonesia. Di era sekarang, fungsi utamanya sebagai rumah dinas Gubernur Jawa Timur.
Sejak tahun 1991, Pemerintah Provinsi Jawa Timur juga membuka Grahadi untuk umum sebagai destinasi wisata sejarah. Memperluas fungsinya sebagai warisan budaya yang dapat masyarakat nikmati secara luas.
Baca Juga: Sejarah Gemeente Depok Menjadi Bukti Pengaruh Hindia Belanda
Selain itu juga menjadi tempat untuk menerima tamu kenegaraan, mengadakan jamuan resmi, serta berbagai acara penting. Beberapa Presiden RI bahkan pernah bermalam di gedung ini. Termasuk Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Joko Widodo. Itulah penjelasan tentang sejarah Gedung Grahadi di Surabaya, Jawa Timur. Semoga bermanfaat. (R10/HR-Online)