harapanrakyat.com – Keberadaan sampah elektronik saat ini menjadi ancaman nyata bagi keberlangsungan alam, tidak terkecuali di Jawa Barat. Sebab, sampah elektronik ini mengandung zat kimia berbahaya mulai dari, merkuri, timbal, hingga kadmium.
Baca Juga : Jumlah Kawasan Bebas Sampah di Kota Bandung Masih Minim, Begini Tanggapan Pemkot!
Kandungan zat kimia dalam sampah elektronik ini tentunya bisa mencemari air, tanah, udara, bahkan penyakit tertentu. Apabila, jenis sampah ini tidak segera tertangani, maka kerusakan lingkungan akan segera terjadi. Mengingat, saya hidup masyarakat yang kian konsumtif dalam menggunakan perangkat elektronik seperti gawai hingga komputer, akan menghasilkan banyak sisa barang buangan jenis tersebut.
Group Chief of HC, GA, Litigation and CSR Erajaya Group, Jimmy Perangin Angin mengajak masyarakat untuk memilah sampah elektronik. Sebab, berdasarkan catatan dari Kementerian PPN/Bappenas, sampah jenis ini pada 2023 sudah mencapai 2,1 ton. Kementerian Lingkungan Hidup memperkirakan jumlah sampah jenis ini akan meningkatkan dua kali lipat pada 2030, yakni 4,4 juta ton.
“Kami mengajak semua pihak membangun ekosistem pengelolaan sampah elektronik yang inklusif, terstruktur, dan berkelanjutan,” kata Jimmy di Bandung, Kamis (12/6/2025).
Jimmy menilai, apabila seluruh masyarakat bijak memilah barang bekas elektronik, maka mereka bisa mengurangi emisi karbon hingga 467 kg karbondioksida. Kemudian mampu menghemat energi sebesar 854 kWh dan mengurangi kebutuhan lahan TPA/landfill sebesar 10 meter pesegi.
“Kami mengajak semua pihak untuk segera bertindak dengan tidak membuang sampah elektronik sembarangan. Masyarakat bisa menyalurkan sampah jenis ini ke dropbox erafone Jaga Bumi,” ujarnya.
Baca Juga : Peringati HPSN, Wakil Wali Kota Cimahi Kunjungi Kawasan Cireundeu Canangkan Ini!
Ada di Mana-mana, Penanganan Sampah Elektronik Belum Ada Solusi
Leader of World Cleanup Day Indonesia, Andy Bahari menambahkan, saat ini masih jarang masyarakat yang mengetahui bahaya limbah elektronik ini. Akhirnya, mereka membuang sampah tersebut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), karena belum banyak tempat khusus untuk membuangnya.
“Sampah elektronik itu ada di mana-mana dan belum ada solusinya. Sangat mengkhawatirkan, masih banyak yang buang sisa barang elektronik ke TPA dan belum ada sistem pengelolaan khusus,” kata Andy.
Founder of Asah and Co-founder Parongpong, Gadis Prawewari menyebut, sampai saat ini belum ada solusi pengelolaan barang sisa elektronik ini. Sedangkan, timbulan limbah elektronik semakin banyak, seiring banyaknya masyarakat yang menggunakan peralatan elektronik.
“Jadi masih perlu upaya edukasi yang intensif kepada masyarakat terkait pengelolaan sampah elektronik. Sampah jenis ini tidak melebur di tanah,” kata Gadis. (Reza/R13/HR Online/Editor-Ecep)