Spoorweg Station Tjimahi atau yang kini lebih populer sebagai Stasiun Cimahi, merupakan salah satu fasilitas transportasi penting. Di mana keberadaannya telah mendukung mobilitas masyarakat Tjimahi sejak zaman kolonial Belanda. Bahkan punya peran vital dalam perkembangan ekonomi sekaligus militer di wilayah tersebut.
Seiring waktu, Stasiun Cimahi terus bertransformasi. Dari halte kecil hingga menjadi bagian dari jaringan kereta api modern milik PT Kereta Api Indonesia (KAI). Namun, di balik perubahannya, tersimpan jejak panjang sejarah yang sangat menarik untuk kita telusuri.
Baca Juga: Gedong Cai Tjibadak, Pusat Distribusi Air Bandung Berusia 1 Abad Lebih
Mengulas Sejarah Berdirinya Spoorweg Station Tjimahi
Wilayah Cimahi mulai tercatat dalam sejarah kolonial sejak tahun 1811. Tepat ketika Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels, pimpin pembangunan di Jalan Raya Pos Anyer–Panarukan.
Saat itu, ia menugaskan pekerja paksa untuk mendirikan pos penjagaan di sekitar area yang kelak menjadi Alun-alun Cimahi. Dari sana, wilayah Cimahi perlahan kian berkembang dan pemerintah kolonial kian semakin meliriknya.
Pada dekade 1880-an, pemerintah Hindia Belanda pun mulai merancang Cimahi sebagai kota militer pendukung Bandung. Guna merealisasikan rencana tersebut, pihaknya membutuhkan sistem transportasi yang memadai.
Dalam sejarah Spoorweg Station Tjimahi, maka berdirilah Halte Cimahi, sebuah stasiun kecil hasil prakarsa Staatsspoorwegen (SS). Perusahaan kereta api milik Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Halte ini resmi beroperasi pada 17 Mei 1884, bersamaan dengan terbukanya jalur kereta Padalarang–Bandung.
Fungsi Stasiun Kecil yang Krusial
Tujuan utama dari pembangunan jalur kereta api di wilayah Priangan awalnya adalah untuk mendukung aktivitas ekonomi. Priangan terkenal subur dan kaya akan hasil pertanian seperti karet, kopi hingga kina, komoditas utama ekspor ke Batavia.
Namun, sebelum Spoorweg Station Tjimahi terbangun, pengiriman komoditas melalui Jalan Raya Pos sering terlambat. Bahkan rusak di jalan karena lamanya waktu tempuh. Berkat hadirnya jalur kereta api, distribusi hasil bumi menjadi jauh lebih cepat.
Jalur ini menghubungkan Bandung, Cimahi, Cianjur, Sukabumi, Bogor, hingga Jakarta. Membuat waktu pengiriman hanya sekitar 6–8 jam. Jauh lebih efisien daripada pengangkutan lewat jalur darat sebelumnya.
Halte Cimahi versi lama sendiri menjadi titik penting dalam jaringan tersebut. Tercatat ada empat kereta yang rutin berhenti. Meliputi dua rute pulang-pergi Bogor–Cicalengka dan Cianjur–Cicalengka.
Baca Juga: Sejarah Situ Cikaret Bogor Beserta Mitos dan Daya Tariknya
Kecepatan kereta saat itu berkisar antara 25–30 km/jam. Adapun perjalanan dari Bogor ke Cicalengka memerlukan waktu tempuh sekitar 7,5 jam. Sementara dari Cianjur sekitar 3,5 jam.
Dari Halte ke Kota Militer
Pada 1886, setelah halte kereta berdiri, pemerintah kolonial mulai mewujudkan rencana menjadikan Cimahi sebagai pusat militer. Wilayah ini mereka bangun secara terencana untuk menjadi kota barak dan pusat pelatihan militer dalam sejarah Spoorweg Station Tjimahi.
Tentara-tentara Belanda dan keluarga mendapat berbagai fasilitas. Sebut saja perumahan, rumah sakit militer, lapangan tembak, gereja, kolam renang, bioskop, rumah tahanan militer, hingga kompleks pemakaman. Semua mendukung fungsi kota sebagai basis militer utama selain Bandung.
Seiring perkembangannya, maka kebutuhan akan stasiun yang lebih besar kian tinggi. Sehingga status halte berubah menjadi Spoorweg Station Tjimahi (stasiun besar). Pada 1 Maret 1903, Cimahi resmi naik kelas menjadi 3e-klasse station (stasiun besar kelas tiga). Stasiun ini mendapat perluasan bangunan sekaligus peningkatan fasilitas.
Fakta menariknya Stasiun Cimahi generasi kedua disebut sebagai stasiun pertama di Hindia Belanda yang memiliki toilet tertutup. Bangunan barunya terbuka untuk umum pada 16 Maret 1905, meski tanpa seremoni besar.
Kini Sepenuhnya Milik KAI
Saat ini, Stasiun Cimahi berada di bawah pengelolaan PT Kereta Api Indonesia (KAI). Banyak bagian dari bangunan lama masih bisa terlihat. Meskipun sebagian besar sudah mengalami renovasi dan penyesuaian zaman.
Nuansa warisan sejarah Spoorweg Station Tjimahi tetap terasa. Terutama pada bagian fasad, bentuk atap, dan beberapa elemen arsitektur kolonial. Salah satu peninggalan yang menarik adalah stasiun pengisian air untuk lokomotif uap.
Dulu, fasilitas ini menjadi ciri khas karena tidak semua stasiun memilikinya. Sayang, menurut sejarawan lokal, talang air pada bangunan itu kini sudah hilang. Padahal, fasilitasnya merupakan bagian penting dari sistem perkeretaapian zaman dulu.
Baca Juga: Situ Cileunca Pangalengan Bandung, Destinasi Wisata Menarik yang Penuh Mitos
Meski beberapa bagian tak lagi terpasang, Spoorweg Station Tjimahi tetap berdiri kokoh sebagai saksi perjalanan waktu. Dari zaman kolonial yang penuh strategi militer, hingga masa kini, serba digital dan cepat. Stasiun ini telah mengantar jutaan orang melintasi waktu dan tempat. (R10/HR-Online)