Sejarah Tragedi Bencana di Panjalu Ciamis 1908, Tanah Desa Lenyap Ditelan Bumi, Ratusan Jiwa Melayang dalam Sekejap

8 hours ago 6

Tragedi bencana di Panjalu, Kabupaten Ciamis tahun 1908 menjadi peristiwa paling mengerikan waktu itu. Berbagai media kolonial mengabarkan beragam informasi peristiwa bencana yang menelan ratusan jiwa dalam waktu singkat. 

Pada akhir tahun 1908, persisnya bulan Desember, bencana tanah longsor yang sangat dahsyat mengguncang Desa Cihoeboehan yang masuk wilayah Distrik Panjalu, Ciamis. Berdasarkan penelusuran terbaru, letak Desa Cihoeboehan tidak ditemukan. Namun, dugaan paling kuat wilayah tersebut merujuk pada nama Cibubuhan yang berada di Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis. 

Sebelum terbentuk secara resmi, Sukamantri merupakan kemantren atau perwakilan kecamatan di wilayah Kecamatan Panjalu. Sedangkan sebutan Panjalu Utara pernah menjadi panggilan tak resmi dari wilayah Kecamatan Sukamantri. 

Sementara itu, berdasarkan catatan berbagai media kolonial, seperti Haagsche courant, Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, De locomotief, Deli courant dan lainnya yang terbit pada Januari 1909, banyak mengabarkan peristiwa yang menyisakan duka mendalam bagi masyarakat waktu itu. 

Tak hanya soal bencana, media kolonial juga menyoroti berbagai sudut pandang menarik, mulai dari peringatan bencana yang terabaikan, nasib pejabat yang kurang responsif terhadap bencana hingga dampak peristiwa itu. 

Kronologi Tragedi Bencana di Panjalu 1908

Berdasarkan laporan, pada Minggu (27/12/08) tanda-tanda sebelum peristiwa bencana itu terjadi sudah begitu jelas. Retakan tanah dengan ukuran yang besar tiba-tiba muncul di jalan utama yang menghubungkan antara Ciamis dan Cirebon, yakni di Desa Cihoeboehan. 

Mendapati laporan kondisi jalan tersebut, pemerintah setempat saat itu langsung bergerak cepat meminta agar penduduk segera meninggalkan rumah mereka. Dari perintah itu, sebanyak enam keluarga akhirnya pindah. Namun, penduduk lainnya yang merasa aman dan cukup jauh dari lokasi retakan memutuskan untuk tetap bertahan. 

Agar warga dan pengguna jalan lebih waspada, sejumlah petugas dari pemerintah dan kepolisian berjaga di lokasi retakan. Namun, pada Selasa (29/12/08) dini hari, di wilayah ini terjadi hujan deras tanpa henti. Wilayah Cihoeboehan pun yang sebelumnya banyak penduduk, hewan serta pepohonan tiba-tiba lenyap dalam hitungan detik. 

Setelah peristiwa itu terjadi, data awal menyebutkan jika dari total sekitar 255 warga yang saat itu berada di dalam rumah ketika kejadian, hanya 40 orang selamat. Mereka yang selamat kondisinya penuh luka, bahkan masuk kategori parah. 

Di sisi lain, petugas yang berjaga di lokasi retakan dan yang bertugas memperingatkan warga pun tewas bersama warga serta perangkat desa yang berada di lokasi tersebut. 

Lantaran Jalur Ciamis-Cirebon tersebut merupakan akses utama transportasi saat itu, puluhan pengguna jalan hingga pelancong yang akan melintas terpaksa menginap di wilayah sekitar yang masih aman. 

Bahkan, setelah pengumpulan data terbaru, perkiraan korban jiwa dalam bencana ini lebih dari 500 jiwa yang melayang. Saksi-saksi mata saat itu juga menyebutkan pemandangan mengerikan, mayat-mayat berserakan jadi santapan anjing liar yang kelaparan dan burung pemangsa. 

Sementara itu, kerugian material dari tragedi ini tak terhitung jumlahnya. Apalagi jalan sepanjang 500 meter yang merupakan jalur utama itu amblas dan masuk ke jurang. Akibatnya, komunikasi dan akses kendaraan selama berbulan-bulan terputus. Termasuk juga jembatan besi dan tiga gorong pun lenyap tak tersisa akibat bencana ini. 

Penggalangan Dana untuk Bantuan Sosial

Mendapati kabar adanya bencana dengan skala besar waktu itu, berbagai bantuan pun mulai berdatangan. Bahkan, Residen Cirebon J. Oudemans, berinisiatif menggalang dana yang bersumber dari warga di seluruh karesidenan. 

Di sisi lain, wanita-wanita muda yang berada di perkotaan juga mengadakan berbagai acara pertunjukan atau soiree variée dengan tujuan amal. Sementara pemerintah kolonial juga memberikan pinjaman sebesar 800 gulden untuk membantu para korban selamat, mulai untuk kebutuhan makanan, pakaian, serta lokasi baru mereka untuk membangun rumah. 

Masih dari catatan media kolonial, di tengah upaya penanganan bencana yang masih berlangsung, Wedana Panjalu, Raden Soera Adining Soerja yang merupakan putra mendiang Bupati Cirebon terpaksa harus menerima pil pahit pemberhentian jabatan dari pemerintah kolonial. 

Usut punya usut, bukannya berada di lokasi bencana, wedana tersebut malah mengirimkan kepala pengawas yang akhirnya tewas tertimbun longsor. Selain karena itu, Raden Soera dinilai kurang baik oleh kolonial karena menutup semua peluang menjadi bupati. 

Dari sejarah tragedi bencana di Panjalu tersebut, mengingatkan kita harus selalu waspada dalam kondisi cuaca yang tak menentu. Termasuk juga mengindahkan imbauan pemerintah guna meminimalisir korban jiwa. (Muhafid/R6/HR-Online)

Read Entire Article
Perayaan | Berita Rakyat | | |