Kapal laut Tjitjalengka adalah nama yang bukan sekadar merepresentasikan sebuah moda transportasi air, tetapi juga menjadi bagian dari sejarah pertautan budaya dan semangat petualangan lintas samudra. Dalam catatan sejarah Indonesia, nama yang berasal dari sebuah daerah di Nusantara ini diabadikan sebagai nama kapal megah. Kapal ini pernah mengarungi lautan luas, membawa harapan dan cerita banyak orang.
Baca Juga: Spoorweg Station Tjimahi, Sejarah Berdiri dan Fungsinya
Sejarah dan Tradisi Penamaan Kapal Laut Tjitjalengka
Sejak dahulu, penamaan kapal memiliki nilai historis tersendiri. Seperti Columbus dengan Santa Maria atau Magellan dengan Trinidad, tradisi ini juga berlanjut ke perusahaan pelayaran Hindia Belanda. Banyak kapal yang berasall dari nama-nama lokal, seperti gunung, sungai, atau daerah Nusantara. Salah satunya oleh perusahaan N.V. Java-China-Japan-Lijn (JCJL) yang menggunakan awalan “Ci” untuk nama kapalnya, seperti Tjimahi, Tjisadane, dan Tjitjalengka.
Perusahaan pelayaran ini berdiri pada 15 September 1902, pemrakarsanya dari pengusaha Belanda. Pendiriannya atas dorongan J.T. Cremer, Menteri Urusan Tanah Jajahan, yang melihat potensi pelayaran ke Asia Timur. Dukungan finansial sebesar 3.750.000 gulden dari pemerintah Belanda serta investasi dari perusahaan besar seperti Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM), KPM, SMN, dan Rotterdamsche Lloyd mengukuhkan eksistensi JCJL.
Kantor pusat perusahaan ini berada di Amsterdam, sementara manajemen regionalnya di Hongkong. Armada awalnya terdiri dari kapal Tjilatjap, Tjimahi, dan Tjipanas. Seiring waktu, JCJL terus memperluas armadanya hingga mencapai belasan kapal dengan nama-nama yang merepresentasikan tanah air.
Peluncuran Kapal Laut Tjitjalengka
Momen bersejarah terjadi pada 16 Agustus 1938, saat kapal laut Tjitjalengka meluncur ke galangan Nederlandsche Scheepsbouw-Maatschappij, Amsterdam. Acara peresmian ini oleh Nyonya C.F.J. Quarles van Ufford, istri pimpinan JCJL, dan mendapat sambutan meriah dari masyarakat setempat.
Berdasarkan data dari marhisdata.nl, kapal Tjitjalengka memiliki berat kotor 10.945 ton, berat bersih 6.527 ton, dan berat mati 9.424 ton. Kapal sepanjang 457,7 kaki Inggris dan lebar 34 kaki Inggris ini diserahkan kepada JCJL pada 29 April 1939. Kapal ini mampu mengangkut 64 penumpang kelas satu, 155 penumpang kelas dua, dan 1.721 penumpang kelas dek.
Perjalanan dan Transformasi Kapal
Pada masa Perang Dunia II, kapal Tjitjalengka mengalami perubahan fungsi menjadi kapal rumah sakit Liverpool sejak 2 Oktober 1942, dengan kapasitas hingga 1.008 pasien. Setelah perang berakhir pada 1946, kapal ini kembali berfungsi sebagai kapal penumpang dan kargo.
Baca Juga: Pertempuran Malang Area, Jejak Heroik Pejuang di Bumi Arek Malang
Pada 11 Maret 1948, kapal ini berlabuh ke Tanjungpriok dengan nomor lambung baru 2211 Z AMST 1948. Namun, sebuah insiden terjadi pada 26 September 1959, saat kapal ini kandas dalam perairan Teluk Nagoya akibat badai. Berkat upaya pengerukan, kapal berhasil kembali terangkat pada 16 Desember 1959.
Akhir dari perjalanan kapal ini tiba pada 1968, ketika penjualan Tjitjalengka sebagai rongsokan kepada Ming Hing & Co Hongkong. Lalu, pembongkarannya selesai pada 10 November 1968.
Dokumentasi dan Catatan Sejarah
Koran-koran Belanda seperti Het Vaderland dan Algemeen Handelsblad mendokumentasikan perjalanan kapal ini sejak peletakan lunasnya pada 5 Maret 1938. Kapal ini untuk melayani rute Batavia, Hongkong, Shanghai, Manila, Makassar, Bali, Surabaya, dan kembali ke Batavia.
Uji coba pelayaran ke Laut Utara terjadi pada 27 April 1939 sebelum kapal kembali ke Ijmuiden sehari kemudian. Pada 6 Mei 1939, Tjitjalengka mulai berlayar ke Hindia Belanda atas kendali nahkoda Kapten de Jonge dan tiba di Tanjungpriok pada 14 Juni 1939. Layanan reguler perdana ke Tiongkok dan Filipina mulai dari Surabaya pada 23 Juni 1939, melewati Semarang, Batavia, Manila, Hongkong, Amoy, hingga Shanghai.
Jejak Warisan Bangsa Indonesia
Kapal laut Tjitjalengka bukan sekadar alat transportasi laut, melainkan simbol penting dalam perjalanan sejarah pelayaran Nusantara dan cerminan keterhubungan global masa lalu. Sejak peluncurannya di Amsterdam pada tahun 1938, kapal ini telah melewati berbagai fase penting yang mencerminkan warna geopolitik dan ekonomi dunia. Mulai dari masa kejayaannya jalur pelayaran Asia yang menghubungkan Batavia, Hongkong, Shanghai, hingga Manila, kapal ini menjadi saksi bisu dari geliat perdagangan, perpindahan manusia, serta pertukaran budaya antarbangsa kawasan Asia-Pasifik.
Perannya pun semakin berarti saat Perang Dunia II berkecamuk, ketika Tjitjalengka berubah menjadi kapal rumah sakit untuk membantu korban perang. Masa-masa sulit tersebut tak mematahkan eksistensinya, karena usai perang, kapal ini kembali berlayar sebagai kapal penumpang dan kargo, melanjutkan perannya dalam menjaga konektivitas antarnegara.
Baca Juga: Teluk Mauritsbaai, Sejarah Nama Pantai Pangandaran di Zaman Kolonial Belanda yang Nyaris Terlupakan
Kini, meski kapal laut Tjitjalengka hanya tinggal nama dalam buku sejarah dan catatan arsip, jejaknya tetap abadi sebagai bagian dari warisan maritim Indonesia. Kapal ini menjadi pengingat akan kejayaan pelayaran Nusantara yang pernah berperan penting dalam jalur perdagangan dunia. Selain itu, juga menjadi kebanggaan sejarah bangsa yang patut kita kenang dan wariskan kepada generasi mendatang. (R10/HR-Online)