Nieuwe Wijk Yogyakarta, Cikal Bakal Berdirinya Kawasan Kotabaru

2 weeks ago 22

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) populer sebagai salah satu provinsi yang sarat akan nilai historis. Setiap sudut wilayahnya menyimpan cerita masa lalu yang selalu menarik untuk kita kulik. Salah satu kawasan dengan jejak sejarah penting adalah Kelurahan Kotabaru, dahulu bernama Nieuwe Wijk Yogyakarta.

Baca Juga: Sejarah Sri Gading Anteg, Tokoh dengan Peran Besar di Tanah Tasikmalaya

Kelurahan ini berada di Kemantren Gondokusuman dan termasuk daerah padat penduduk. Menurut catatan sejarah Indonesia, kisah terbentuknya kawasan tersebut tidak lepas dari dinamika politik Hindia Belanda. Sekaligus kebijakan ekonomi kolonial yang berlangsung di awal abad ke-20.

Jejak Sejarah Berdirinya Kawasan Nieuwe Wijk Yogyakarta

Kelurahan Kotabaru bermula dari konsep kota taman kolonial sebagai permukiman bagi warga Eropa. Gagasan itu muncul pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VII. Bersamaan dengan berlakunya kebijakan politik pintu terbuka (opendeur politiek) oleh Pemerintah Belanda pada awal 1920-an.

Melalui kebijakan ini, pemerintah kolonial membuka peluang bagi bangsa asing untuk menanamkan modal di wilayah jajahan. Termasuk di Jogja. Kebijakan tersebut sejalan dengan aturan Agrarische Wet. Sehingga mempermudah orang-orang Eropa untuk memiliki akses terhadap lahan.

Seiring meningkatnya jumlah imigran Eropa di Jogja serta pertumbuhan pesat pabrik-pabrik, kebutuhan akan permukiman baru pun menjadi mendesak. Selanjutnya, Cornelis Canne, Residen Yogyakarta saat itu, merancang perluasan kota untuk menampung warga Eropa.

Ia mengajukan rencana permohonan kepada Sultan Hamengkubuwana VII dan mendapatkan persetujuan melalui Rijksblad van Sultanaat Djogjakarta No. 12 tahun 1917. Regulasinya terdiri dari 11 bab yang memberikan kewenangan pembangunan lahan, fasilitas umum, serta jalan dan taman. Tentunya dengan pengawasan dari pihak Kasultanan.

Proses Pemilihan dan Pembangunan Wilayah

Lahan yang Belanda pilih untuk pengembangan Nieuwe Wijk berada di timur Sungai Code, Yogyakarta. Tepatnya di sebelah utara Stasiun Lempuyangan. Di kawasan ini sudah berdiri Rumah Sakit Militer sejak 1913 (sekarang menjadi RS dr. Soetarto). Letaknya berada di pinggir kota membuat suasananya tenang dan ideal untuk permukiman.

Pemerintah kolonial kemudian mempercayakan perencanaan kawasan kepada arsitek kenamaan, Thomas Karsten. Ia terkenal sebagai pelopor tata ruang modern di Hindia Belanda. Karsten merancang kawasan dengan konsep garden city yang terinspirasi dari London. Meskipun bangunan-bangunan di dalamnya tetap menampilkan arsitektur khas Eropa, khususnya Belanda.

Pembangunan berlangsung pada 1917 dan akan selesai dalam lima tahun. Proyek berjalan secara bertahap hingga kawasan ini resmi memiliki nama Nieuwe Wijk Yogyakarta. Dalam bahasa Indonesia berarti “Kota Baru”.

Pembangunan Fasilitas yang Semakin Lengkap

Nieuwe Wijk berdiri secara terstruktur. Lengkap dengan jalan-jalan arteri dan boulevard yang memperlancar akses di kawasan tersebut. Seiring waktu, berbagai fasilitas umum bermunculan di wilayah ini. Salah satunya adalah pusat olahraga yang kini populer sebagai Stadion Kridosono.

Baca Juga: Sejarah Abattoir Tjimahi, Rumah Jagal Hewan Era Belanda

Pendidikan juga menjadi sektor penting. Pemerintah kolonial mendirikan beberapa sekolah. Sebut saja Algemeene Middelbare School (AMS) kini SMA Negeri 3 Yogyakarta. Ada juga Christelijke MULO School sekarang SMA Bopkri 1 Yogyakarta. Bahkan Normal School atau SMP Negeri 5 Yogyakarta.

Untuk sektor kesehatan, berdiri Rumah Sakit Petronella atau RS Bethesda. Sementara di bidang keagamaan, Belanda membangun dua gereja besar. Meliputi Gereja Kristen atau HKBP dan tempat ibadah Katolik yang kini populer dengan Gereja Kotabaru.

Masa Pendudukan Jepang

Ketika Jepang menduduki Indonesia, kawasan Nieuwe Wijk Yogyakarta berubah fungsi menjadi pusat militer. Berbagai bangunan perumahan dan fasilitas umum Jepang manfaatkan untuk markas tentara. Saat itu, Gereja Katolik menjadi gudang mesiu. Di sisi lain Gereja Kristen beralih fungsi sebagai penjara wanita Belanda.

Pada 7 Oktober 1945, para pemuda Yogyakarta bersama pasukan Magelang dan Ambarawa menyerang markas Jepang di Kotabaru. Serangan ini timbul dari kegigihan Jepang menolak menyerahkan senjata mereka. Dalam peristiwa tersebut, 21 pejuang gugur, sementara dari pihak Jepang, 27 tentara tewas.

Untuk mengenang para pejuang, pemerintah menamai sejumlah jalan di Kotabaru dengan nama-nama mereka. Selain itu, dibangun Masjid Syuhada pada tahun 1952. Sebagai penghormatan terhadap mereka yang gugur dalam perjuangan.

Pasca Kemerdekaan

Setelah Indonesia merdeka, dan Yogyakarta sempat menjadi ibu kota negara, Kotabaru berperan penting sebagai pusat pemerintahan. Gedung-gedung eks militer Jepang beralih fungsi menjadi perumahan serta kantor pemerintahan.

Baca Juga: Singkatan Nama Depok, Akronim yang Menyimpan Sejarah Panjang di Baliknya

Beberapa rumah besar menjadi kantor lembaga negara. Salah satunya Departemen Sosial yang terletak di belakang Gereja Kotabaru. Nama kawasannya pun resmi berganti dari Nieuwe Wijk Yogyakarta menjadi Kotabaru. (R10/HR-Online)

Read Entire Article
Perayaan | Berita Rakyat | | |