Sejarah pacuan kuda Kuningan memang erat dengan julukan yang tersemat pada wilayah tersebut. Sebagai wilayah yang saat ini dijuluki sebagai Kota Kuda, Kabupaten Kuningan di Jawa Barat memang mempunyai sejarah yang cukup panjang terkait penggunaan kuda.
Baca Juga: Sejarah Gereja Blenduk Semarang, Bangunan Ibadah Tertua di Jawa Tengah
Nah, dalam artikel ini akan membahas seputar perjalanan sejarah yang berkaitan dengan pacuan kuda di wilayah Jawa Barat tersebut. Untuk itu, bagi yang saat ini penasaran terkait bagaimana sejarah selengkapnya, maka simak ulasannya dalam artikel di bawah ini!
Sejarah Pacuan Kuda Kuningan untuk Pelantikan Bupati
Catatan penggunaan kuda di wilayah Kuningan tertulis dalam beberapa surat kabar Hindia Belanda (sebutan Indonesia dahulu). Salah satunya adalah surat kabar Java Bode pada 24 Juli 1883.
Saat itu, kuda delman berguna untuk prosesi pelantikan Bupati Kuningan. Sedangkan untuk prosesnya sendiri, pertama, Kepala Residen meminta Bupati Kuningan sebelumnya bersama dengan Bupati Galuh (Ciamis) dan petugas dari Plumbon untuk menjemput Bupati baru dengan kereta kuda atau delman terbuka.
Di belakangnya, terdapat beberapa kepala desa dan tokoh masyarakat lainnya yang mengikuti iring-iringan prosesi penjemputan Bupati baru di kediamannya. Kemudian, tepat pukul sepuluh, Bupati baru tersebut menjalani pelantikan usai tiba dengan kereta terbuka. Kereta tersebut melaju perlahan yang didahului oleh para pembawa bendera.
Syair-syair pun mengiringi kedatangan Bupati. Di sisi lain, semua kepala adat mengikuti kereta itu dengan berjalan kaki, menunggang kuda, dan berpakaian dengan lengkap. Setiap kuda dituntun satu persatu dengan iring-iringan nyanyian terbuka dari masing-masing kepala adat.
Prosesi pelantikan Bupati Kuningan baru tersebut ditonton oleh ribuan penduduk hingga terasa meriah. Ribuan penduduk ini memadati area jalan menuju pendopo tempat berlangsungnya pelantikan. Bahkan, banyak penduduk yang mengikuti iring-iringan Bupati bersama para kepala adat menuju pendopo.
Berfungsi Mengangkut Wisatawan ke Ciremai
Selain digunakan dalam prosesi pelantikan, sejarah pacuan kuda Kuningan juga erat kaitannya dengan fungsinya untuk mengangkut wisatawan yang ingin berwisata di area Gunung Ciremai. Mayoritas wisatawan ini merupakan warga Eropa yang ingin menyusuri setiap sudut keindahan Gunung Ciremai.
Bahkan, banyak para wisatawan yang ingin berkuda dari Kuningan hingga Majalengka. Kemudian, dari Majalengka mereka pulang naik kereta atau mobil menuju ke arah Cirebon.
Ada juga beberapa wisatawan yang melanjutkan perjalanannya menuju Danau Panjalu yang berada di wilayah Ciamis. Hal ini tertuang dalam surat kabar De Locomotif pada edisi 28 Maret 1918.
“Dengan berjalan kaki atau berkuda seseorang dapat pergi ke Majalengka dan kemudian dengan mobil atau kereta melalui Majalengka ke Cirebon. Perjalanan yang indah adalah ke Danau Panjalu. Dengan mobil atau kereta, seseorang dapat mencapai Kawali tanpa lereng utama di sepanjang jalan baru, yang berbelok kiri melewati Tjikidjing, dan kemudian berbelok kanan ke Pandjaloe,” isi tulisan dalam surat kabar tersebut.
Baca Juga: Menguak Asal Usul Sejarah Kota Garnisun Cimahi di Jawa Barat
Kuda Kuningan pada Masa Hindia Belanda
Sejarah pacuan kuda Kuningan di masa Hindia Belanda kerap ikut serta dalam perlombaan pacu kuda yang diadakan di wilayah Cirebon. Bagi peternak kuda di wilayah Kuningan, lomba pacuan kuda ini menjadi ajang unjuk gigi kuda yang berkualitas.
“Kabar panitia Pasar Malam akan menyelenggarakan pacuan kuda darat di Cirebon mendapat sambutan gembira, khususnya oleh para peternak kuda di Majalengka dan Kuningan. Lagi pula, pengembangbiakan kuda telah berlangsung di sana selama beberapa tahun, namun mereka tidak pernah memiliki kesempatan untuk mengukur hasil dan kualitas kuda,” isi surat kabar De Locomotif edisi 29 Agustus 1929.
Kala itu, sebanyak 73 ekor kuda ikut mendaftar lomba pacu kuda di Cirebon. Bagi peternak, lomba pacuan kuda ini menjadi momen menaikkan harga. Pasalnya, untuk juara satu, kuda yang semula seharga 500 gulden, setelah menang langsung naik menjadi 1.800 gulden.
Sedangkan untuk kuda juara kedua, semula harganya 150 gulden, harganya juga langsung naik menjadi 500 gulden. Oleh karena itu, melalui kontes pacuan kuda tersebut membuat peternak semangat untuk terus meningkatkan kualitas kudanya masing-masing.
Peristiwa Kecelakaan Delman
Sejarah pacuan kuda Kuningan juga menyimpan kisah memilukan di dalamnya. Sebagai alat transportasi tradisional dengan tenaga kuda di masa Hindia Belanda, kendaraan delman ini pernah mengalami kecelakaan. Kala itu, delman dengan tiga orang penumpang wanita mengalami kecelakaan di wilayah Perbatasan Kuningan-Cirebon.
Pada masa itu, ketiganya bersama dengan kusir kuda dan beristirahat sejenak setelah melewati lereng gunung yang berat. Sesuai rencana, mereka akan melanjutkan perjalanan ke Kuningan menuju arah Ciamis.
Akan tetapi, saat kusir sedang beristirahat di warung, tiba-tiba kuda jantan mengamuk dan mengakibatkan delman terguling dan menewaskan ketiga penumpang wanita di dalamnya.
Akibat kecelakaan tersebut, satu wanita meninggal dunia di tanah yang keras dengan kondisi tubuh penuh luka. Dua penumpang lainnya tergeletak dengan luka memar parah dan langsung mendapat perawatan di rumah sakit. Sedangkan, untuk yang meninggal langsung dimakamkan dan kusirnya mendapat hukuman penjara.
Baca Juga: Mengulik Sejarah Pabrik Tekstil Tjiboenar Sukabumi Sebelum Runtuh
Demikian sejarah pacuan kuda Kuningan di Jawa Barat yang menyimpan kisah panjang dan memilukan di dalamnya. Keberadaan kuda yang kerap menjadi alat transportasi pada masa penjajahan Belanda, menjadikan wilayah Kuningan identik dengan Kota Kuda. Julukan tersebut melekat hingga kini sebagai identitas bersejarah yang tak terlupakan. (R10/HR-Online)