harapanrakyat.com – Komisi X DPR RI sedang melakukan pembahasan mengenai revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam prosesnya, tercatat ada 12 masalah yang terjadi di dunia pendidikan, tetapi Komisi X DPR RI akan fokus pada empat isu yang paling mendesak dan relevan.
Baca Juga : Disdik Jawa Barat Sebut Penerbitan Kepgub PAPS untuk Tekan Ratusan Ribu Anak Putus Sekolah
Anggota Komisi X DPR RI Habib Syarief Muhammad menjelaskan, dalam proses revisi yang akan mengintegrasikan UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas. Kemudian UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen, serta UU Nomor 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, tercatat ada 12 masalah.
Namun, sekarang Komisi X DPR RI akan fokus pada empat isu yang paling mendesak dan relevan dengan kondisi pendidikan terkini.
Empat isu ini meliputi, permasalahan pendanaan dan mandatory spending pendidikan. Lalu ketimpangan dan fragmentasi tata kelola pendidikan, dikotomi negeri dan swasta, serta lembaga pesantren.
“Ada 12 masalah yang kami temukan. Tetapi ada empat hal yang paling utama mendesak dan relevan,” katanya dalam Rakorwil LP Maarif NU Jawa Barat di Kota Bandung, Sabtu (9/8/2025).
Anggota Komisi X DPR RI itu mengatakan, terkait pendanaan dan mandatory spending pendidikan, dalam amanat Pasal 31 ayat (4) UUD 1945. Pasal itu menyatakan bahwa alokasi anggaran untuk pendidikan minimal 20 persen APBN dan APBD, tetapi masih ada ketimpangan.
Walaupun, alokasi anggaran untuk pendidikan sudah mencapai 20 persen atau Rp 724,3 triliun dari APBN 2025. Namun, anggaran untuk Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) kurang dari 5 persen. Sedangkan, pengelolaan sisanya berada di Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) serta Kementerian Agama (Kemenag).
“Ada juga anggaran dari itu yang tersebar di sejumlah kementerian dan lembaga. Lalu, untuk pendidikan kedinasan dan program lainya. Padahal itu tidak berkaitan langsung dengan peningkatan kualitas pendidikan,” ujar anggota Komisi X DPR RI itu.
Ketimpangan Fragmentasi Tata Kelola Pendidikan tak Luput Perhatian Komisi X DPR RI
Syarief menambahkan, ketimpangan dan fragmentasi tata kelola pendidikan yang menjadi isu kedua dalam revisi UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas. Menurutnya, dalam isu tersebut berkaitan dengan tanggung jawab dan daerah. Nantinya, proses revisi UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas akan mempertegas kewenangan pemerintah pusat maupun daerah.
Hal itu bertujuan untuk menghindari disharmoni regulasi yang berpotensi membuat kebingungan di lingkungan masyarakat maupun pemangku kepentingan.
“Jadi nanti akan termuat, pemerintah daerah tidak boleh mencampuri yang mana,” tuturnya.
Baca Juga : Digugat 8 Organisasi Sekolah Swasta ke PTUN Bandung, Pemprov Jabar: Itu Hak Warga Negara
Terkait dikotomi negeri dan swasta, kata anggota DPR RI Komisi X ini, penyelenggaraan pendidikan saat ini terkesan diskriminatif terhadap satuan pendidikan swasta.
Padahal, sudah ada putusan MK No.58/PUU-VIII/2010 terhadap Pasal 55 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Kemudian Putusan MK No.3/PUU-XXII/2024 terhadap Pasal 34 ayat 2 UU Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Dengan adanya dua putusan itu, negara tidak boleh mengecualikan skema pembiayaan , sepanjang sekolah tersebut menyelenggarakan pendidikan dasar sesuai standar.
“Kami akan coba selesaikan problematika dikotomi dalam revisi UU Sisdiknas ini,” katanya.
Kemudian, anggota Komisi X DPR RI ini juga menyoroti mengenai keberadaan lembaga pendidikan pesantren. Ia secara tegas menolak rencana UU Nomor 18/2019 tentang Pesantren masuk bagian revisi UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas.
Walaupun, UU Nomor 18/2019 tentang Pesantren telah menetapkan pesantren merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional. Tetapi lembaga pesantren memiliki kekhasan, kemandirian, dan sistem penjaminan mutu tersendiri. “Revisi UU Sisdiknas ini perlu menegaskan aturan pendidikan sudah memilki regulasi tersendiri,” ucapnya. (Reza/R13/HR Online/Editor-Ecep)