harapanrakyat.com,- Jawa Barat saat ini menduduki peringkat pertama sebagai tujuan investasi di Indonesia dengan nominal Rp72,5 triliun. Capaian itu berdasarkan data dari Kementerian Investasi atau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi mengatakan, investasi yang masuk hingga menjadikan Jawa Barat menduduki peringkat pertama ini bukan tiba-tiba, melainkan karena ada kebijakan strategis.
“Jawa Barat ranking investasinya tertinggi se-Indonesia, Rp72,5 triliun sudah masuk. Itu terjadi bukan ujug-ujug (tiba-tiba) tetapi ada beberapa kebijakan strategis,” kata Dedi di Kota Bandung, Selasa (5/8/2025).
Dedi berujar, kebijakan strategis pertama yang ia lakukan untuk menjadikan Jawa Barat menduduki peringkat pertama investasi yaitu, memberantas aksi premanisme di lingkungan industri.
Kemudian, mendekatkan industri kepada masyarakat agar mereka tahu secara langsung tujuan investasi. Sehingga, informasi mengenai investasi yang masyarakat terima itu langsung dari pelaku usaha.
“Angka premanisme di dunia industri menurun tajam, bisa lihat lah hari. Kemudian, mendekatkan industri pada masyarakat, agar mengerti nih,” katanya.
Problem Investasi di Jawa Barat Mulai dari Izin Hingga Alih Fungsi Pertanian
Dedi menambahkan, problem investasi yang selama ini terjadi karena perizinan lokasi, harga lahan yang akan menjadi industri melonjak tinggi, serta alih fungsi lahan pertanian.
Menurutnya, antrean penerbitan rekomendasi Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) sering menjadi masalah.
Sebab, pengajuan UKL dan UPL ini masuk dalam sistem perizinan usaha yang terintegrasi secara elektronik (OSS). Sehingga, DLH Jawa Barat tidak mungkin ada pergeseran, karena khawatir menjadi temuan.
“Itu kan butuh kecerdasan kepala daerah. Bagaimana Gubernur, Bupati, berkoordinasi agar ini tidak terhambat. Misalkan, pembangunan fisik (industri) harus cepat, karena bulan depan harus masuk. Yang seperti itu harus dilakukan dengan baik,” tuturnya.
Selanjutnya, problem investasi yang kerap terjadi yaitu, lonjakan harga lahan ketika pembebasan hanya berkisar Rp200 sampai 300 ribu per meter persegi. Namun, ketika pembangunan fisik industri masih membutuhkan lahan sedikit lagi, maka harga lahan akan melonjak tinggi mencapai Rp3 sampai 4 juta per meter persegi.
“Yang seperti itu perlu pendekatan. Saya sering mengirim surat pada masyarakat bertemu. Masalahnya apa, nanti orientasinya apa, saya kasih penjelasan, turun, win-win selesai. Itu kan yang termasuk di BYD seperti itu, kemudian di Indramayu seperti itu,” katanya.
Lebih lanjut, Dedi mengatakan, alih fungsi lahan pertanian menjadi industri juga kerap menjadi persoalan dalam hal investasi, karena ada Surat Edaran (SE) dari Menteri Pertanian Nomor B-193/SR.020/M/05/2025.
Dedi memastikan, ia sudah berkomunikasi dengan Menteri Pertanian, Amran Sulaiman mengenai alih fungsi lahan pertanian menjadi industri. Hasilnya, lahan pertanian yang hilang menjadi industri, harus ada penggantinya.
Baca Juga: Direktur DEEP Indonesia Masih Kena Doxing, Meski Unggahan Sudah Diturunkan Diskominfo Jawa Barat
“Lima hektare (lahan pertanian) tidak boleh hilang, harus terkonversi yang terintegrasi dengan PSDA, BBWS. Lima hektare ganti jadi 25 hektar. Ini bisa dilakukan kalau gubernurnya para kepala daerah bisa mengorkestrasi. Perlu kecermatan, kecerdasan pemerintah dalam membaca setiap peluang yang terjadi,” ujarnya. (Reza Deny/R7/HR-Online/Editor-Ndu)